Entri Populer

Pemilu dalam Pandangan Islam

Diposting oleh jundullah-online Senin, 16 Maret 2009



Hukum Mencalonkan dan Dicalonkan Menjadi Anggota Parlemen Dalam Sistem Demokrasi


        Meskipun hukum asal untuk memilih adalah mubah, namun demikian, seorang muslim tetap harus memperhatikan syarat-syarat yang ada di dalamnya. Selama syarat-syaratnya sesuai dengan al-Quran dan sunnah, maka absahlah aqad perwakilan tersebut. Sebaliknya, jika syarat-syaratnya bertentangan dengan al-Quran dan sunnah, maka aqad perwakilan itu batal.

        Lantas, di dalam konteks sistem pemerintahan demokratik, apakah seorang muslim diperbolehkan mencalonkan diri atau mencalonkan orang lain untuk menyuarakan aspirasi Islam dan kaum muslim di dalam parlemen? Dengan kata lain, apakah seorang muslim boleh menjadikan parlemen -dalam sistem demokratik-sebagai jalan untuk mendakwahkan dan menyua-rakan aspirasi umat Islam? Jawabnya adalah sebagai berikut:

        Pada dasarnya, ketika seorang telah menjalin aqad wakalah dengan orang lain sesuai dengan syarat-syarat Islam, maka absahlah syarat tersebut. Bila si fulan mewakilkan aspirasinya kepada fulan yang lain, maka sahlah aqad wakalah tersebut.

        Demikian juga dalam pemilu saat ini. Seorang muslim boleh dicalonkan atau mencalonkan orang lain untuk menyuarakan aspirasi. Bila perkara yang diwakalahkan adalah perkara mubah, sedangkan rukun dan syarat sah wakalahnya telah dipenuhi, maka sahlah aqad wakalah tersebut.

        Namun, persoalannya tidak berhenti hingga di sini saja, akan tetapi berlanjut pada pertanyaan, “Apakah seorang yang dicalonkan untuk menjadi wakil rakyat tersebut -ketika hendak memperjuangkan aspirasi dari orang yang mewakilkan- menggunakan cara dan wasilah yang sesuai dengan syariat Islam atau tidak? Dengan kata lain, apakah dalam memperjuangkan aspirasi rakyat, wakil rakyat tersebut menggunakan cara-cara dan wasilah Islamiy ataukah tidak? Lantas, apakah pemilu dan parlemen merupakan wasilah Islamiy atau tidak?"

        Dalam konteks pemilu saat ini, seorang wakil rakyat harus menjadi anggota parlemen dan mengikuti seluruh mekanisme parlemen tatkala hendak memperjuangkan aspirasi rakyat melalui parlemen. Sebab, ketika seseorang hendak berjuang melalui parlemen maka, orang tersebut harus berkecimpung dan terlibat di dalamnya. Tanpa melibatkan dan berkecimpung di dalamnya, seseorang - yang berjuang via parlemen- tidak mungkin bisa menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Padahal, parlemen dan seluruh mekanisme yang ada di dalamnya jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Dalam kondisi semacam ini, kita bisa menyatakan dengan tegas bahwa, parlemen (dengan sistem seperti sekarang ini) bukanlah wasilah syar’iy untuk memperjuangkan aspirasi Islam dan kaum muslim, Pasalnya, mekanisme parlemen jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam.

U        ntuk itu, seorang muslim tetap tidak boleh mewakilkan suaranya kepada orang yang hendak memperjuangkan aspirasi rakyat melalui wasilah yang tidak syar’iy (parlemen). Dengan ungkapan lain, seorang muslim tidak boleh menjalin aqad wakalah dengan scseorang yang menggunakan wasilah non-syar’iy untuk memperjuangkan aspirasinya.

Fakta pertentangan parlemen -asas dan mekanismenya-? dengan Islam terlihat dalam perkara-perkara berikut ini;


Pertama: asas yang digunakan pijakan untuk menetapkan undang-undang tidak merujuk kepada aqidah dan syariat Islam, akan tetapi dibangun berdasarkan paham demokrasi-sekulerisme.


        Pada dasamya, fungsi legislasi (penetapan hukum) merupakan fungsi paling menonjol dari parlemen. Jika fungsi menetapkan hukum ini masih berada di tangan wakil rakyat (anggota parlemen) - sesuai dengan prinsip demokrasi, vox populi, vox dei-, maka kita bisa menyatakan dengan tegas, bahwa keberadaan parlemen semacam ini jelas-jelas bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam, tanpa ada keraguan sedikitpun. Sebab, hak untuk menetapkan hukum ada di tangan Allah Swt. semata, bukan di tangan rakyat maupun wakil rakyat.

        Di sisi yang lain, keberadaan pemilu dan parlemen juga ditujukan untuk melanggengkan sistem pemerintahan demokratik sekuler. Sebab, pemilu dan parlemen adalah mekanisme yang di desain untuk melakukan proses pergantian kekuasaan dalam sistem demokratik. Pembentukan pemerintahan dan kekuasaan baru harus dilakukan melalui mekanisme pemilu dan parlemen.

        Atas dasar itu, gagal atau tidaknya pergantian kekuasaan demokratik-sekuleristik sangat ditentukan oleh gagal atau tidaknya pemilu dan parlemen. Jika pemilu gagal atau digagalkan, maka pergantian kekuasaan tidak akan terjadi, alias terputuslah mata rantai pergantian kekuasaan demokratik-sekuleristik. Akan tetapi, jika mekanisme pemilu dan parlemen ini berjalan dengan normal, maka secara otomatis proses pergantian kekuasaan akan terjadi secara sukses.

        Dari sini kita bisa menyatakan bahwa, jika kaum muslim mengikuti pemilu dan melibatkan diri di dalamnya, maka secara tidak langsung, mereka juga turut andil dalam memuluskan proses pergantian kekuasaan dalam sistem demokratik sekuler. Dengan ungkapan lain, mereka juga turut andil dalam melahirkan dan melanggengkan sistem pemerintahan demokratik sekuler. Sebaliknya, jika kaum muslim tidak melibatkan diri dalam pemilu dan parlemen, maka ia telah berperan dalam menggagalkan lahirnya pemerintahan dan kekuasaan demokratik sekuler. Artinya, ia telah berperan dalam menghentikan keberlangsungan sistem pemerintahan demokratik sekuler yang bertentangan dengan syariat Islam.

Kedua: mekanisme pengambilan pendapat di dalam parlemen didasarkan pada prinsip-prinsip pengambilan pendapat dalam sistem demokrasi, bukan Islam. Prinsip pengambiian pendapat yang paling menonjol dalam sistem parlemen demokratik adalah suara mayoritas (voting). Padahal, pada perkara-perkara tertentu, voting jelas-jelas melanggar prinsip dan syariat Islam. Misalnya, untuk menetapkan status hukum zina, homo seks, dan lain sebagainya, tidak boleh ditempuh dengan cara voting. Cara penetapan hukumnya harus didasarkan pada prinsip ijtihad dan pendapat yang paling kuat (rajih). Penetapan hukum pada perkara-perkara semacam ini tidak boleh dilakukan dengan cara voting, akan tetapi dengan cara istinbath (menggali hukum dari nash-nash al-Quran).

Ketiga: dari sisi keanggotaan. Keberadaan orang-orang kafir di dalam parlemen yang tidak dibatasi kewenangan dan kewajibannya, telah membuka peluang bagi orang kafir untuk menguasai kaum muslim, Kasus di Nigeria membuktikan bahwa pemilu telah membuka pintu lebar bagi kaum kafir untuk menguasai kaum muslim. Seharusnya, kewenangan dan hak orang-orang kafir di dalam parlemen harus dibatasi.


        Dalam pandangan Islam, orang-orang kafir tidak boleh memberikan aspirasi atau pendapat dalam hal-hal yang menyangkut urusan? penetapan hukum dan pemerintahan. Mereka hanya diperbolehkan menyampaikan laporan-laporan tentang penyimpangan atau kesalahan dalam penerapan hukum, dan tidak diberi kewenangan untuk menyampaikan aspirasi dalam perkara-perkara selain itu. Dengan kata lain, orang kafir hanya diberi kewenangan untuk menyampaikan tindak penyimpangan yang dilakukan oleh penguasa Islam, baik dalam hal buruknya penerapan syariat Islam di suatu daerah, atau kedzaliman yang dilakukan oleh penguasa Islam. Selain perkara-perkara semacam ini, mereka dilarang menyampaikan aspirasi maupun kritik.

        Dari keseluruhan penjelasan di atas, lantas, apakah seorang muslim tetap diperbolehkan melakukan wakalah (dalam hal aspirasi) dengan seseorang yang akan memperjuangkan aspirasinya melalui sebuah mekanisme yang jelas-jelas bathil, yakni parlemen? Jawabannya adalah sebagai beriku:

1.Meskipun antara rakyat dan calon wakil rakyat telah terjadi aqad wakalah dan sah, akan tetapi selama wakil rakyat tersebut memperjuangkan aspirasi rakyat melalui jalan yang diharamkan -parlemen dan pemilu- tentu akad wakalah itu menjadi batal dan rusak, walaupun pada awalnya, akad wakalah tersebut ditujukan untuk koreksi dan muhasabah. Sebab, syarat untuk duduk di dalam parlemen nyata-nyata bertentangan dengan syarat-syarat Islam.

2.Melihat fakta dan realitas parlemen dan pemilu sekarang ini, kita bisa menyimpulkan bahwa, melibatkan diri dalam dua aktivitas tersebut adalah tindakan haram. Sebab, untuk menjadi anggota parlemen, para wakil rakyat harus mengakui beberapa prinsip yang bertentangan dengan Islam. Bahkan mereka harus mengakui dan menerima asas parlemen yang tidak berdasarkan aqidah dan syariat Islam. Dengan kata lain, ada syarat-syarat bathil yang harus diakui oleh siapa saja yang hendak menjadi anggota parlemen.

3.Salah satu syarat yang bertentangan dengan aqidah Islam adalah: setiap calon wakil rakyat harus mengakui prinsip-prinsip sekuler sebagai asas dan dasar negara. Syarat ini harus dipenuhi oleh siapa saja yang ingin menjadi anggota parlemen. Padahal, pengakuan terhadap prinsip dasar sekuler ini jelas-jelas merupakan tindakan yang bertentangan dengan aqidah Islam. Syarat-syarat tersebut tercantum dengan sangat jelas dalam undang-undang no. 23 tahun 2003, yang mengatur tentang kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.

4.Dalam undang-undang no. 23 tahun 2003 tentang Susunan & Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, pasal 20 disebutkan tentang sumpah yang harus diucapkan oleh anggota DPR, DPRD (pasai 56] dan DPD [pasal 36]. Isi sumpah itu adalah sebagai berikut:

“Demi Allah (tuhan) saya bersumpah/berjanji: bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota (ketua/wakil ketua) Dewan Perwakihn Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya; bahwa saya akan memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan perundang-undangan; bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi serta berbakti kepada bangsa dan negara; bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia.”

5.Pada pasal 29 juga dinyatakan dengan sangat jelas bahwa anggota DPR mempunyai kewajiban;
(a) melaksanakan Pancasila.
(b) melaksanakan UUD 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan.
(c) melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dan seterusnya.

        Fakta di atas telah menunjukkan bahwa syarat-syarat untuk duduk di dalam parlemen adalah syarat-syarat bathil yang bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam. Untuk itu, seorang muslim wajib menolak syarat-syarat tersebut di atas. Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Setiap syarat yang tidak berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, meskipun 100 syarat, adalah bathil.”

        Jika syarat-syarat keanggotaan parlemen saja sudah bathil, tentunya memilih calon anggota parlemen pun menjadi tidak absah.

        Walhasil, meskipun dari sisi wakalah antara calon wakil rakyat dengan rakyat sudah sesuai dengan prinsip Islam, akan tetapi dengan adanya syarat keanggotaan parlemen yang bathil, telah mengubah status hukum wakalah yang mubah menjadi haram. Sebab, wakil rakyat telah menggunakan wasilah yang tidak Islamiy untuk memperjuangkan aspirasi rakyat.

        Selain itu, mekanisme pengambilan keputusan di dalam parlemen, keanggotaan, dan tujuan-tujuannya bertentangan secara diawetral dengan Islam. Keanggotaan seorang muslim di dalamnya tentu adalah sesuatu yang diharamkan. Meskipun ia hanya mengambil satu fungsi saja, yaitu ?fungsi kontrol dan koreksi.

        Untuk memberikan gambaran sederhana fakta dan hukum mencalonkan dan dicalonkan menjadi anggota parlemen demokratik dapat diterangkan sebagai berikut:

Fulan-1 telah mengikat akad wakalah dengan fulan-2 dalam perkara aspirasi, koreksi dan pendapat Islam. Fulan-1 sebagai wakil sedangkan fulan-2 adalah muwakkil. Selanjutnya. keduanya mengucapkan sighat taukil. Pada kasus ini, akad wakalah telah terselenggara dan sah menurut syariat Islam. Sebab, syarat dan rukun wakalah telah terpenuhi. Selanjutnya, fulan-1 (wakil) pergi ke KPU mendaftarkan diri sebagai calon anggota wakil rakyat; atau bisa jadi, fulan-1 telah mendaftarkan diri sebagai calon wakil rakyat, kemudian baru berakad wakalah dengan fulan-2.

Yang perlu dicermati adalah, pada saat wakil (fulan-1) mendaftarkan dirinya menjadi calon wakil rakyat di KPU, dirinya harus mematuhi prinsip-prinsip dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh KPU. Selama syarat-syarat yang diajukan KPU tidak bertentangan dengan Islam, maka secara hukum wakil (fulan-1) diperbolehkan turut serta dan terlibat dalam parlemen dan pemilu. Akan tetapi, selama syarat-syarat yang diajukan KPU tidak sesuai dengan syariat dan ‘aqidah Islam -meskipun satu syarat- , maka wakil (fulan-1) diharamkan untuk meneruskan menjadi calon wakil rakyat yang berkecimpung di dalam parlemen. Sebab, syarat-syarat yang diajukan oleh KPU telah bertentangan dengan Islam.


        Fakta saat ini menunjukkan bahwa ada syarat yang diajukan oleh KPU yang bertentangan dengan Islam. Di antaranya adalah, para calon wakil rakyat harus mengakui asas tunggal dan kesetiaannya dengan sistem sekuler. Pada kondisi semacam ini, maka calon wakil rakyat tidak mungkin bisa berkecimpung di dalam pemilu dan parlemen, dikarenakan pada langkah-langkah awal dirinya telah dicegat dengan syarat-syarat yang tidak Islamiy.

        Jika syarat untuk menjadi wakil rakyat saja bathil, tentunya rakyat tidak boleh mencalonkan atau dicalonkan menjadi wakil rakyat.

        Seandainya syarat-syarat menjadi anggota parlemen adalah sah, namun mekanisme pengambilan pendapat, tugas, fungsi, hak dan kewenangannya bertentangan dengan Islam, maka seorang muslim juga tidak boleh masuk dan menjadi anggota di dalamnya. Sebab, seorang muslim tidak dibenarkan berkecimpung dan melibatkan diri dalam aktivitas-aktivitas yang bertentangan dengan Syariat Islam atau tolong menolong dalam hal kemaksiatan. Allah Swt. berfirman, artinya:

“Dan tolong-menolonglah kamu sekalian dalam hal kebaikan dan taqwa; dan jangan tolong menolong dalam dosa dan kemaksiatan.” [al-Maidah: 2]


Ayat ini dengan sharih menyatakan bahwa bekerjasama dan tolong menolong dalam kebathilan merupakan bagian dari kemaksiatan itu sendiri.

Semoga menjadi pembuka hidayah bagi mereka hamba-hamba dan pengikut asas demokrasi,Kembaliah kepada Tauhid yang murni agar kelak tidak menyesal di hari yang tiada lagi berguna penyesalan dan ratapan(akhitat).



Artikel Terkait:

2 komentar

  1. Anonim Said,

    cat pikir nasib bangsa ini ada ditangan kita sendiri, jika kita membiarkan kekuasaan jatuh ke tangan orang yg dzalim maka hancurlah negeri ini.
    Dan diantara sekian byk orang yg tidak amanah, pasti ada satu atau lebih yang bisa memegang amanah. cat yakin harapan itu masih ada selama kita mau berusaha menggapainya.buktinya masih ada partai yg bersih, peduli dan profesinal.ya kan??
    Misalkan ada 5 calon pemimpin yang semuanya masuk kategori "kotor", kita tetap wajib memilih salah satu dari mereka.karena diantara ke5 calon yg kotor itu pasti ada yg "kekotorannya" paling sedikit dan kita wajib memilihnya. cz jika kita golput, bisa jadi yang paling kotor yg menang..maka hancurlah negeri ini.naudzubillah min dzalik...

    Posted on 3/25/2009 10:08 PM

     
  2. Begini yaa ukhti fillah...!!!
    bagaimana anda bilang ada partai yg bersih sedang partai itu menggunakan dasar demokrasi sebagai landasanya padahal demokrasi itu tidak lain adalah sistemnya orang kafir baca disini
    Coba ukhti pikir??? Apakah kita akan membersihkan gelas yang kotor dengan lap yang kotor pula?
    Apakah boleh kita mau sholat tapi kita berwudlu dg air yg najis,walaupun sholat adalah amal ibadah yg wajib?
    Apakah Nabi juga begitu saat makkah dan Madinah masih dlm negara kafir,beliau mengikuti langkah mereka(orang kafir) menggunakan hukum kafir?
    Bagaiman bisa anda mengatakan kita harus memilih diantara orang bodoh untuk dijadikan pemimpin?Padahal Rasulullah perna mengatakan "kalau urusan sudah tidak di amanahkan pd ahlinya maka tunggulah kehancuranya"
    Coba ukhti baca2 lagi artikel-artikel ana ttg demokrasi,sungguh InsyaAllah akan ukhti dapati begitu hinanya demokrasi dan hamba2nya dimata Islam...!!!
    Semoga Allah melimpahkan hidayah kepada kita sehingga akan terbuka dihati kita mana yg haq dan mana yg batil.
    Amiiiien......

    Posted on 3/26/2009 11:30 AM

     

Posting Komentar