Entri Populer

Nyontreng NO Jaga Aqidah YES

Diposting oleh jundullah-online Minggu, 29 Maret 2009


        Entah apa yang merasuki sebagian Ulama yang tergabung dalam MUI sehingga mereka dengan berani telah mengeluarkan fatwa haramnya golput padahal mereka disitu duduk di majlis yang mengatas namakan ulama tapi fatwa yang diambil menyimpang jauh dari prinsip Aqidah ulama salafus sholih . Bukan;ah berarti saya merasa bahwa saya memiliki ilmu yang jauh lebih dalam daripada mereka (MUI), sehingga saya berani untuk mengkritik mereka. Akan tetapi, saya hanyalah seorang yang tahu sedikit mengenai satu hal yaitu demokrasi. Sedangkan apa yang difatwakan oleh MUI tersebut berkaitan erat dengan demokrasi yaitu pemilihan umum.

        Semoga saja tulisan-tulisan yang akan saya sampaikan berikut ini dapat “menambah” kedalaman fakta yang telah didapat oleh MUI dan menjadi penjelas bagi mereka yang masih menggunakan sistem Demokrasi. Sehingga dengan semakin dalamnya fakta, akan semakin mudah dalam menetapkan hukum atas suatu perbuatan,Amiiiien...!!.

        Perlu diketahui oleh setiap orang bahwa Sistem Pemerintahan Islam bukanlah sistem republik. Sistem republik pertama kali tumbuh sebagai reaksi praktis terhadap penindasan sistem kerajaan (monarki). Sebab, raja memiliki kedaulatan dan kekuasaan sehingga ia memerintah dan bertindak atas negeri dan penduduk sesuai dengan kehendak dan keinginannya. Rajalah yang menetapkan undang – undang menurut keinginannya. Lalu datanglah sistem republik, kemudian kedaulatan dan kekuasaan dipindahkan kepada rakyat dalam apa yang disebut dengan demokrasi. Rakyatlah yang kemudian membuat undang – undang; yang menetapkan halal dan haram, terpuji dan tercela. Lalu pemerintahan berada di tangan presiden dan para menterinya dalam sistem republik presidentil dan di tangan kabinet dalam sistem republik parlementer. (Contoh mengenai pemerintahan di tangan kabinet ada di dalam sistem monarki yang kekuasaan pemerintahannya dicabut dari tangan raja; ia hanya menjadi simbol : ia menjabat raja, tetapi tidak memerintah).
Padahal membuat hukum adalah mutlak haknya Allah Swt.
Tidaklah mungkin al-Qur’an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (al-Qur’an itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam. (QS. 10:37)

Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin? (QS. 5:50)

Segala puji bagi Allah tuhan semesta alam, Dialah yang menciptakan manusia dengan dilengkapi aqal dan hati, namun aqal dan hati manusia baru akan berfungsi dengan benar dan sempurna bila telah diatur dengan mengikuti hukum-hukum Allah. Bila manusia telah mentaati hukum-hukum Allah, bertekun dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka sampailah manusia pada derajad manusia yang arif bijaksana, manusia yang diliputi petunjuk Allah manusia yang diberi hikmah oleh Allah

"Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal. (QS. 2:269)"

"Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka diwaktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya. (QS. 39:23)"


        Ketika turun ayat di atas, Rasulullah saw. menjelaskan bahwa sesungguhnya para pembesar dan para rahib telah membuat hukum, karena mereka telah menetapkan status halal dan haram bagi masyarakat, lalu masyarakat menaati mereka. Sikap demikian dianggap sama dengan menjadikan para pembesar dan para rahib itu sebagai tuhan – tuhan selain Allah. Sebagaimana penjelasan Rasulullah saw. ketika menjelaskan maksud ayat tersebut. Penjelasan Rasul tersebut menunjukkan betapa besarnya kejahatan orang yang menetapkan halal dan haram, selain Allah. Imam at-Tirmidzi telah mengeluarkan hadis dari jalan Adi bin Hatim yang berkata :

"Aku pernah datang kepada Nabi saw., sementara di leherku bergantung salib yang terbuat dari emas. Nabi saw. lalu bersabda, “Wahai Adi, campakkan berhala itu dari tubuhmu!” Lalu aku mendengar Beliau membaca al-Qur’an surat at-Taubah ayat 31 (yang artinya) : Mereka telah menjadikan para pembesar mereka dan rahib – rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. Nabi saw. kemudian bersabda, “Benar, mereka tidak menyembah para pembesar dan para rahib itu. Akan tetapi ketika para pembesar dan para rahib itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka pun menghalalkannya, dan jika para pembesar dan para rahib itu mengharamkan sesuatu, mereka pun mengharamkannya.” (HR at-Tirmidzi).


        Sistem pemerintahan Islam bukan sistem demokrasi menurut pengertian hakiki demokrasi, baik dari segi bahwa kekuasaan membuat hukum-menetapkan halal dan haram, terpuji dan tercela-ada di tangan rakyat, maupun dari segi tidak adanya keterikatan dengan hukum – hukum syariah dengan dalih kebebasan. Orang – orang kafir memahami betul bahwa kaum Muslim tidak akan pernah menerima demokrasi dengan pengertiannya yang hakiki itu. Karena itu, negara – negara kafir penjajah (khususnya AS saat ini) berusaha memasarkan demokrasi di negeri – negeri kaum Muslim. Mereka berupaya memasukkan demokrasi itu ke tengah – tengah kaum Muslim melalui upaya penyesatan (tadhlil), bahwa demokrasi merupakan alat untuk memilih penguasa.

        Anda bisa melihat, mereka mampu menghancurkan perasaan kaum Muslim dengan seruan demokrasi itu, dengan memfokuskan diri pada seruan demokrasi sebagai pemilihan penguasa. Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran yang menyesatkan kepada kaum Muslim, yakni seakan – akan perkara yang paling mendasar dalam demokrasi adalah pemilihan penguasa. Karena negeri – negeri kaum Muslim saat ini sedang ditimpa penindasan, kezaliman, pembungkaman, dan tindakan represif penguasa diktator, baik mereka berada dalam sistem yang disebut kerajaan ataupun republik. Sekali lagi kami katakan, karena negeri – negeri Islam mengalami semua kesengsaraan tersebut, maka kaum kafir dengan mudah memasarkan demokrasi di negeri – negeri kaum Muslim sebagai aktivitas memilih penguasa,padahal disitu adalah pengunaan hukum kafir yang disuguhkan terhadap orang islam untuk menghancurkan umat islam itu sendiriakan tetapi orang islam itu sendiri malah dengan mudah mesuk ke mulut buaya .

        Mereka berupaya menutupi dan menyembunyikan bagian mendasar dari demokrasi itu sendiri, yaitu tindakan menjadikan kewenangan membuat hukum serta menetapkan halal dan haram berada di tangan manusia, bukan di tangan Tuhan manusia. Bahkan sebagian aktivis Islam, termasuk di antaranya adalah para syaikh (guru besar), mengambil tipuan itu; baik dengan niat yang baik maupun buruk. Jika Anda bertanya kepada mereka tentang demokrasi, mereka menjawab bahwa demokrasi hukumnya boleh dengan anggapan, demokrasi adalah memilih penguasa.

        Sudah di ketahui bersama bahwa pemilihan penguasa atau pemimpin sudah ada dijaman pada sahabat ketika ditinggal Rasulullah Wafat yakni pembaiatan Abu Bakar As-syidiq oelh para sahabat yang kebanyakan mereka sudah dijamin surga oleh Allah bukan seperti sekarang yang setiap orang mempunya hak yang sama tidak perduli dia penipu,perampok,pezina,bahkan orang kafir pun diberi hak yang sama guna menetukan siapa pemimpin kita ini,apakah itu ajaran islam ...??? Apakah sistem seperti itu yang harus kita ikuti...???"Afalaa ta`qiluun"Apakah kalian tidak memikirkanya...???"

        Adapun mereka yang memiliki niat buruk berupaya menutupi, menyembunyikan, dan menjauhkan pengertian hakiki demokrasi sebagaimana yang ditetapkan oleh penggagas demokrasi itu sendiri. Menurut mereka, demokrasi bermakna : kedaulatan ada di tangan rakyat-yang berwenang membuat hukum sesuai dengan kehendak mereka berdasarkan suara mayoritas, menghalalkan dan mengharamkan, serta menetapkan status terpuji dan tercela; individu memiliki kebebasan dalam segala perilakunya-bebas berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya, bebas minum khamr, berzina, murtad, serta mencela dan mencaci hal – hal yang disucikan dengan dalih demokrasi dan kebebasan individual. Inilah hakikat demokrasi. Inilah realita, makna, dan pengertian demokrasi. Lalu bagaimana bisa seorang Muslim yang mengimani Islam mengatakan bahwa demokrasi hukumnya boleh atau bahwa demokrasi itu berasal dari Islam....??? ayoo jawab wahai anda yang mengatasnamakan partai islam yang tidak lain adalah pengukut dan hamba-hamba demokrasi itu sendiri...!!!

        Adapun masalah umat memilih penguasa atau memilih Khalifah, hal itu merupakan perkara yang telah dinyatakan dalam nash – nash syariah. Kedaulatan di dalam Islam ada di tangan syariah. Akan tetapi, baiat dari rakyat kepada Khalifah merupakan syarat mendasar agar seseorang menjadi khalifah,sehingga untuk mendapat kepercayaan dan baiat dari rakyat tentunya rakyat perlu untuk di tetapkan dalam keyakinanya aqidah yang benar sehingga apapun nantinya yang diperintahkan pemimpin maka rakyat akan dengan ikhlas mengikutinya .

        Sungguh, pemilihan Khalifah telah dilaksanakan secara praktis di dalam Islam pada saat seluruh dunia masih hidup dalam kegelapan, kediktatoran, dan kezaliman para raja. Siapa yang mendalami tata cara pemilihan Khulafaur Rasyidin-Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib; semoga Allah meridhai mereka- maka ia akan dapat melihat dengan jelas bagaimana dulu telah sempurnanya pembaiatan kepada para khalifah itu oleh ahl al-halli wa al-’aqdi dan para wakil kaum Muslim. Dengan baiat itu, masing – masing dari mereka menjadi khalifah yang ditaati oleh kaum Muslim.

        Ringkasnya, demokrasi adalah sistem kufur. Bukan karena demokrasi berbicara tentang pemilihan penguasa, sehingga hal itu bukan masalah yang mendasar. Tetapi perkara yang mendasar dalam demokrasi adalah menjadikan kewenangan membuat hukum berada di tangan manusia, bukan pada Allah, Rabb alam semesta.
Padahal Allah SWT berfirman :

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ

"Menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah. (TQS Yusuf [10] : 40)."

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

"Demi Rabbmu, mereka hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerimanya dengan sepenuhnya. (TQS an-Nisa’ [4] : 65)".


        Terdapat banyak dalil (selain ayat – ayat di atas, peny) yang saling mendukung, yang sudah diketahui bersama,yang menyatakan bahwa kewenangan menetapkan hukum adalah milik Allah SWT.

        Pertanyaan mendasarnya sekarang adalah, apa yang dilakukan oleh wakil rakyat yang telah kita pilih di gedung DPR sana? Apakah tugas mereka adalah semata – mata melakukan muhasabah (koreksi) kepada pemerintah?

        Sebagaimana namanya yaitu lembaga legislatif, maka yang dilakukan oleh wakil rakyat yang telah terpilih adalah membuat hukum. Melegislasi (menetapkan) hukum dengan dasar yang tidak jelas. Lalu dengan dasar apa mereka menetapkan hukum selama ini? Tentu saja dengan hawa nafsu mereka. Dengan kompromi antara kepentingan yang satu dan kepentingan yang lain. Atas dasar ini, bukankah wajar dan memang seharusnya kita sebagai umat Islam, tidak ikut andil dalam memilih mereka pada pesta demokrasi yaitu pemilihan umum? Sebab, mereka telah menjadikan hawa nafsu mereka sebagai dasar dalam membuat hukum, bukan berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

        Lalu atas dasar apa MUI memfatwakan haram tidak ikut serta dalam sistem kufur. Apakah mereka hendak berkeinginan agar kita semua mengikuti sistem demokrasi yang telah jelas keharamannya? Ulama macam apakah yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal? Cukuplah firman Allah SWT berikut ini sebagai renungan bagi kita semua :


لَوْلَا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ

"Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram ?. Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu. (QS al-Ma’idah [5] : 63)"


        Mengapa justru ulama – ulama kita memerintahkan kepada kita untuk melakukan yang haram? Wallahu’alam. Semoga Allah SWT melindungi kita semua dari hal yang demikian.

Fact Box :

        Penyusunan UU Pornografi (yang semula RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi) beberapa waktu yang lalu adalah contoh nyata mengenai tidak digunakannya Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dasar dalam menetapkan hukum di DPR. Sekalipun para wakil rakyat yang duduk di DPR tersebut berasal dari partai yang mengaku partai Islam, tetap saja mereka lebih cenderung berkompromi terhadap permasalahan ini. Bukankah telah jelas, bahwa pornoaksi adalah menampakkan aurat di muka umum? Bukankah telah jelas bahwa pornografi adalah menampakkan aurat melalui berbagai wasilah media baik cetak maupun elektronik?

        Satu hal yang menarik adalah persyaratan penyusunan UU di DPR. UU yang dihasilkan oleh DPR RI tentu tidaklah boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Apabila UU yang dihasilkan oleh DPR RI tersebut bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, maka Mahkamah Konstitusi (MK) berhak untuk membatalkannya. Pertanyaannya sekarang adalah : Apakah panduan hidup kita supaya selamat di dunia dan di akhirat adalah UUD 1945 dan Pancasila, dan bukan Al-Qur’an serta As-Sunnah? Kalau saya lebih memilih Al-Qur’an dan As-Sunnah ketimbang UUD 1945 dan Pancasila. Tentu para ulama lebih tahu akan hal ini ketimbang saya. Karena dari namanya saja yaitu Ulama, orang yang takut kepada Allah karena kedalaman ilmu yang dia miliki. Wallahu a’lam.



Artikel Terkait:

1 Comment

  1. lima menit kita nyontreng selamanya masuk neraka!!!

    Posted on 4/14/2009 10:56 AM

     

Posting Komentar