Entri Populer

Diposting oleh jundullah-online Selasa, 21 Mei 2013

Alkisah dua orang aktivis masjid dari dua generasi yang berbeda sedang bercengkerama. Aktivis yang lebih tua telah menjadi pemimpin sebuah kelurahan. Sementara aktivis yang lebih muda adalah pegawai kantor kelurahan. Keduanya berbincang di rumah aktivis yang lebih tua. “Pak gimana sih rasanya menjadi pemimpin?” tanya aktivis yang lebih muda. “Ya jelas enak lah, kalau tidak enak mana saya mau bersusah payah dan berkorban agar menjadi pemimpin,” jawab aktivis yang lebih tua dengan mantap. Aktivis yang lebih muda itu terhenyak sesaat. Kemudian ia tersenyum. Dalam hatinya ia merenung, benarkah menjadi pemimpin itu enak? Padahal ia mengetahui persis bahwa aktivis seniornya itu harus merogoh koceknya lebih dari 100 juta untuk bisa memegang jabatan saat ini. Padahal ia melihat aktivis seniornya itu selalu kelihatan sibuk dan ada seabrek tugas yang harus dikerjakan. Ia bekerja lebih keras dan lebih banyak dibanding sebelum menjadi pemimpin. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa banyak aktivis Islam, aktivis dakwah dan orang shalih berubah drastis saat telah memegang jabatan. Banyak di antara mereka sejak awal harus rela mengumpulkan dana ke sana kemari dan berjuang keras agar bisa mencapai jabatan tersebut, dengan misi memperjuangkan agama Allah dan syariat Allah. Namun saat jabatan yang dicari telah diraih, kondisinya berubah seratus delapan puluh derajat. Jika ia semula orang yang terbiasa hidup sederhana, wara’ dan agak zuhud; maka jabatan telah merubah pola kehidupannya secara lambat namun pasti dan mantap. Rumah mewah, kendaraan mewah, harta melimpah dan berbagai fasilitas hidup luks lainnya menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya. Jika dahulu pergaulannya berkutat pada masjid, jama’ah shalat dan aktivis dakwah; kini berubah menjadi orang-orang berdasi yang lebih enjoy melakukan meeting di hotel, restaurant dan kafe. Jika semula membiayai sekolah anak-anaknya di tingkat pendidikan dasar dan menengah saja ia harus membanting tulang, kini anak-anaknya bisa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi yang ternama tanpa ada kesulitan material yang berarti. Banyak hal telah berubah dari kehidupannya, termasuk persoalan visi dan misi perjuangan. Jika semula ingin mengusung agama Allah dan menerapkan syariat-Nya, kini berpuas diri dengan sistem demokrasi sekuler. Jika semula menjunjung tinggi akidah wala’ dan bara’, maka kini kelompok sekuleris, nasionalis dan anti-syariat Islam menjadi kawan akrabnya. Jika semula ingin memuliakan harkat kaum wanita dengan memelihara kodratnya sebagai ibu rumah tangga, maka kini ia tak ragu menerima persamaan gender dan emansipasi wanita versi Barat: tak mengapa 30 persen calon pemimpinnya dari kalangan wanita. Bukan tidak mungkin, jika semula jabatan diniatkan sebagai sarana menegakkan Islam, kini jabatan telah menjadi tujuan dan kue yang diperebutkan. Sungguh benar petuah para ulama rabbani untuk mewaspadai bahaya ketamakan kepada harta dan tahta. Ambisi kepada kekayaan dan jabatan diibaratkan dua ekor srigala lapar yang dilepas pada sekawanan domba. Dengan buas, kedua srigala itu mencabik-cabik dan menelan daging domba yang lemah dan malang itu. Bedanya, jika srigala lapar mencabik-cabik dan memakan daging domba; maka ambisi pada jabatan dan kekayaan mencabik-cabik dan memakan aspek agama pelakunya. Ambisi pada tahta dan harta menggerogoti keimanan, keshalihan dan ketakwaan pelakunya. Jika penggerogotan itu berlangsung lama, tanpa pernah disadari dan diobati oleh pelakunya, maka pada akhirnya keimanan, keshalihan dan ketakwaan aktivis Islam tersebut akan melemah, sakit-sakitan dan bahkan mati. Pada saat itulah umat Islam hanya bisa mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un dan bertakbir empat kali atas jenazah si aktivis Islam. Aktivis Islam itu memang masih hidup jasmaninya, namun ruhaninya tak bisa diharapkan lagi oleh umat Islam. Umat Islam telah kehilangan kepercayaan dan ketauladanan dari diri si aktivis Islam tersebut. Bersama lunturnya kepercayaan dan ketauladanan itu, luntur pula cita-cita banyak umat untuk memperjuangkan Islam lewat sarana kekuasaan dan harta. Harta dan tahta sekali lagi telah memakan korbannya. عَنْ كَعْبِ بْنِ عِيَاضٍ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” إِنَّ لكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَإِنَّ فِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ “ Dari Ka’ab bin Iyadh radhiyallahu ‘anhu berkata: Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Sesungguhnya setiap umat memiliki fitnah (godaan dan ujian yang menggelincirkan) sendiri-sendiri, dan fitnah bagi umatku adalah harta.” (HR. Ahmad no. 17471, Tirmidzi no. 2336, Ibnu Hibban no. 3223, Al-Hakim no. 7896 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam al-Awsath no. 3319. Hadits shahih) عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ الْأَنْصَارِيّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ، وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ “ Dari Ka’ab bin Malik al-Anshari radiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Dua srigala lapar yang dilepaskan pada sekawanan kambing itu tidak lebih merusak daripada ambisi seseorang kepada harta dan kemuliaan sehingga merusak agamanya.” (HR. Ahmad no. 15784 dan 15794, At-Tirmidzi no. 2376, An-Nasai dalam As-Sunan al-Kubra no. 11796, Ad-Darimi no. 2772, Ibnu Hibban no. 3228, Ibnu Abi Syaibah no. 34380, Al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah no. 4054, Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam al-Kabir, 19/96 no. 189. Hadits shahih) Imam Ath-Thibi rahimahullah mengatakan, “Maksud hadits ini adalah dua ekor srigala lapar yang dilepaskan pada sekawanan kambing itu tidak lebih besar merusak (membahayakan) kawanan kambing tersebut, daripada ambisi seseorang kepada harta dan kekusaan. Sebab ambisi tersebut lebih keras merusak agama seseorang daripada kerusakan yang ditimbulkan oleh dua ekor srigala lapar apabila dilepaskan pada sekawanan kambing.” (Al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi Syarh Sunan at-Tirmidzi, 7/39) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Seringkali jiwa itu dicampuri oleh syahwat-syawat tersembunyi yang merusak rasa cinta jiwa itu kepada Allah, penghambaan jiwa itu kepada-Nya dan keikhlasan ketaatn jiwa itu kepada-Nya. Sebagaimana dikatakan oleh sahabat Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu: يَا بَقَايَا الْعَرَبِ إنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الرِّيَاءُ وَالشَّهْوَةُ الْخَفِيَّةُ. “Wahai sisa-sisa bangsa Arab, sesungguhnya hal yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah riya’ dan syahwat yang tersembunyi.” Imam Abu Daud as-Sijistani pernah ditanya, “Apakah syahwat yang tersembunyi itu?” Maka beliau menjawab: “Cinta kekuasaan.” عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: {مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي زَرِيبَةِ غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ} Dari Ka’ab bin Malik al-Anshari radiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Dua srigala lapar yang dilepaskan pada sekawanan kambing itu tidak lebih merusak daripada ambisi seseorang kepada harta dan kemuliaan sehingga merusak agamanya.” At-Tirmidzi berkata: Hadits hasan shahih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam menerangkan bahwa bahaya ambisi kepada harta dan jabatan dalam merusak agama tidak kurang dari kerusakan yang ditimbulkan oleh dua ekor srigala lapar yang dilepaskan pada sekawanan kambing. Hal ini jelas, karena agama yang lurus tidak mengandung ambisi (kepada harta dan jabatan) ini. Sebab, jika hati telah merasakan manisnya penghambaan kepada Allah dan cinta kepada-Nya, niscaya tidak ada sesuatu pun yang lebih ia cintai dan lebih ia dahulukan daripada penghambaan kepada Allah dan cinta kepada-Nya. Dengan hal itulah orang yang ikhlas karena Allah diselamatkan dari perbuatan buruk dan keji. Sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala: {كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ} “Demikianlah agar Kami memalingkan darinya (Yusuf) perbuatan buruk dan keji. Sesungguhnya ia (Yusuf) termasuk hamba-hamba Kami yang telah dimurnikan keikhlasannya.” – QS. Yusuf [12]: 24 – (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 10/214-215) Wallahu a’lam bish-shawab. (muhibalmajdi/arrahmah.com)



Artikel Terkait:

0 komentar

Posting Komentar